Kamis, 26 Maret 2009

Tolak Kedatangan JK ke Palembang

Sriwijaya Post - Sabtu, 13 Desember 2008 07:39 WIB

PALEMBANG, SRIPO — Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), menegaskan bahwa krisis yang melanda Indonesia sebetulnya telah berakhir 4-5 tahun yang lalu. Hal itu ditandai pertumbuhan Indonesia yang mengalami peningkatan dan adanya perbaikan mendasar dalam 10 tahun lalu sejak krisis terjadi.

Bila kondisi seperti saat ini berjalan, diperkirakan pada tahun 2010-2011 Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain. Pada waktu itu diperkirakan pertumbuhan Indonesia mencapai 8-9 persen. Sedangkan saat ini pertumbuhan Indonesia sekitar 6 persen saja.

Dengan semakin baiknya keadaan ekonomi, maka semakin terangkat pula martabat Indonesia di dunia internasional. Alasannya untuk menjadi negara yang

bermartabat, sebuah negara dilihat ekonomi bangsanya sebagai muara dari setiap unsur yang mengangkat martabat sebuah negara. Dengan kata lain maju-mundurnya sebuah negara diukur dari kemampuan bangsa.

JK menyampaikan hal itu ketika membuka secara resmi Silahturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Tahun 2008 di Hotel Arya Duta Palembang, Jumat (12/12) sore.

Dua Peristiwa Besar

Peresmian pembukaan Silaknas tersebut ditandai dengan pemukulan gong oleh JK sebanyak dua dan tiga kali (sesuai dengan nomor urut Golkar dalam Pemilu 2009 mendatang, Red). Selain itu ditandai dengan penyerahan kartu anggota ICMI dari Ketua Presidium ICMI Hatta Rajasa kepada Gubernur Sumsel Alex Noerdin.

Ditegaskan JK, meski sudah berakhir tetapi anggaran negara saat ini masih terasa berat karena masih ada beban subsidi yang harus ditanggung oleh negara. Namun beberapa waktu kedepan subsidi akan semakin mengecil. Dengan demikian anggaran bisa difokuskan untuk pembangunan infrastruktur.

Sementara Ketua Presidium ICMI Hatta Rajasa, Silaknas tahun 2008 dinilai sangat memiliki arti khusus. Hal tersebut karena bertepatan dengan dua peristiwa besar yang sedang terjadi di tataran global maupun di Indonesia.

Peristiwa yang dimaksud adalah, krisis keuangan global yang berpengaruh pada sendi kehidupan masarakat dan juga terkait dengan semakin dekatnya Pemilu dan Pilpres tahun 2009 mendatang. “Dua peristiwa penting itu perlu dicermati,” kata Hatta

Namun demikian ditegaskan Hatta, silaknas kali ini belum membicarakan masalah capres. Silaknas kali ini khusus membicarakan masalah arsitektur bangunan ekonomi Indonesia kedepan. “Masalah ekonomi menjadi pemikiran kritis bagi ICMI,” ujar Hatta.

Demo Mahasiswa

Sementara itu belasan mahasiswa dari Unsri, UMP dan PGRI menggelar aksi unjukrasa di Bundaran Air Mancur, Palembang. Aksi tersebut digelar untuk menolak kedatangan Wapres Jusuf Kalla di Palembang untuk membuka Silaknas ICMI.

Aksi yang dimulai sekitar pukul 09.30 tersebut hanya diisi orasi oleh mahasiswa secara bergantian. Selain itu mahasiswa membagikan selebaran kepada pengendara yang melintas di sekitar kawasan Bundaran Air Mancur.

Target mahasiswa tersebut sebenarnya melakukan aksi untuk menolak kedatangan Presiden SBY yang dijadwalkan ke Palembang untuk membuka acara Silaknas ICMI. Namun karena diwakilkan kepada Wapres JK, demo pun digelar untuk menyambut Jusuf Kalla.

“Baik SBY maupun Jusuf Kalla patut ditolak kedatangannya, karena kebijakan keduanya tidak berpihak pada masyarakat. Keduanya gagal memimpin Indonesia,” ujar Presma Unsri Febriansyah yang ditemui di tengah aksi.

Lebih spesifik Febri menyebutkan bahwa SBY-JK gagal dibidang ekonomi. Indikasinya harga-harga kebutuhan masyarakat masih tinggi sehingga menimbulkan beban bagi masyarakat. Meski ada kebijakan menurunkan harga premium namun dinilai tidak terlalu signifikan.

Disisi lain Koordinator Aksi Syahril Romadhon menilai tidak seharusnya masyarakat dijadikan komoditas politik. Indikasinya penurunan harga BBM dinilai sebagai upaya mendongkrak popularitas SBY-JK saja. Tetapi pada dasarnya masih banyak hal-hal yang harus dipikirkan oleh SBY-JK tanpa melibatkan kepentingan untuk Pemilu 2009.

BEM Unsri bentuk BHP Center

Universitas Sriwijaya (Unsri) me-launching Badan Hukum Pendidikan (BHP) Centre sebagai pusat kontrol menuju pelaksanaan UU BHP. Aksi launching yang dipusatkan di terminal bus mahasiswa Unsri Kampus Indralaya Selasa (10/02) lalu dipimpin langsung Pembantu Rektor (PR) III Bidang Kemahasiswaan Unsri Anis Saggaf.

Presiden Mahasiswa (Presma) Unsri Febriansyah mengatakan, aksi diikuti sedikitnya 50 orang dari komponen mahasiswa BEM Universitas, BEM Fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Organisasi Mahasiswa (Ormawa).
Dalam agendanya, aksi digelar bukan sebagai pernyataan menolak atau menerima Undang-undang (UU) BHP, melainkan BHP Centre merupakan pusat data dan wadah bagi mahasiswa untuk mengkaji lebih dalam esensi UU BHP. Aksi launching ditandai dengan pembagian UU BHP kepada seluruh mahasiswa Unsri. “Sebagai bentuk sosialisasi UU BHP,kami menggelar sejumlah orasi, baik yang disampaikan mahasiswa ataupun perwakilan rektorat Unsri,” ujarnya.

Menurut Febri, dalam kurun waktu 5–6 tahun ke depan, BHP Centre akan menjadi pusat kontrol bagi Unsri menuju pelaksanaan UU BHP. Dalam hal ini, BHP Centre membahas secara berkelanjutan setiap pasal yang tercantum dalam UU BHP. Dalam prosesnya, jika ke depan ditemukan pasal-pasal yang dinilai tidak berpihak kepada mahasiswa, pihaknya akan melakukan judisial review atau draf tawaran ulang untuk memperbaiki pasal yang dianggap bertentangan.

“Semua pertanyaan mahasiswa seputar BHP akan dijawab melalui BHP Centre. Apabila ditemukan hal-hal yang kurang berpihak kepada mahasiswa, BEM se-Indonesia sepakat melakukan uji materi dan usulan perbaikan kepada pihak yang berwenang,” papar Febriansyah. Agar BHP Centre berjalan efektif dan efisien, pihaknya membuka posko-posko perwakilan BHP Centre di setiap fakultas.

Dijadwalkan minimal seminggu sekali BHP Centre menggelar road show ke setiap fakultas. Selain untuk menyosialisasikan UU BHP, road show merupakan ajang diskusi dan sharing setiap mahasiswa terkait penerapan UU BHP, khususnya di Unsri. Bahkan, dalam waktu dekat, BHP Centre akan menggelar dialog nasional seputar BHP.

PR III Bidang Kemahasiswaan Unsri Anis Sagaff mengungkapkan, pihaknya menyambut baik pembukaan BHP Centre. Mengingat, UU BHP disahkan DPR perlu dikaji dan dipahami.Dengan demikian, para mahasiswa tidak hanya mengetahui UU BHP hanya sebatas kulit luarnya, tetapi dapat menilai dan memahami secara komprehensif.

“Saya rasa ini sebuah prakarsa yang bagus dari mahasiswa. Hal ini tidak hanya menunjukkan sisi intelektualitas, tetapi sisi kedewasaan. Untuk itu, kami rektorat mendukung penuh secara moril,”ujarnya. Anis mengungkapkan, sebelum Unsri, beberapa universitas dan perguruan tinggi (PT) lain di Indonesia telah lebih dulu membuka BHP Centre.

Di antaranya,Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). “Kami harap, setelah Unsri, pembukaan BHP Centre diikuti PT lain. Dengan adanya pengkajian UU BHP,para mahasiswa dapat memiliki landasan ilmiah dalam menyikapinya,” pungkasnya. (febria astuti/SINDO)

Mahasiswa Unsri Galang bantuan untuk Palestina

Sriwijaya Post - Jumat, 16 Januari 2009 12:43 WIB

PALEMBANG, JUMAT - Mahasiswa Unsri yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsri kembali turun ke jalanan menggalang dana bantuan untuk rakyat Palestina. Penggalangan kali ini adalah yang kedua kali. Sehari sebelumnya mahasiswa Unsri sudah menggalang bantuan dana dari lingkungan kampus Unsri di Inderalaya.

Presma Unsri Febriansyah yang dihubungi Jumat (16/1) mengatakan, hari kedua mahasiswa akan memfokuskan penggalangan dana dari masyarakat umum. "Kami bergerak disekitar timbangan KM 32 Jl Palembang-Inderalaya dan juga pasar disekitar lokasi tersebut," kata Febri.

Sementara dalam aksi pertama kemarin, BEM Unsri berhasil menggalang dana dari para mahasiswa sekitar Rp 2,1 juta. Dana tersebut akan digabung dengan dana yang berhasil di himpun dari masyarakat umum. Diharapkan dana yang berhasil digalang dari masyarakat umum lebih besar dari yang berhasil digalang dari mahasiswa di Unsri.

"Kami akan salurkan dana tersebut baik melalui MER-C atau melalui Komite Islam untuk Solidaritas Palestina (KISPA). Secepatnya bantuan tersebut akan disampaikan setelah terkumpul," katanya.

Dikatakan Febri bahwa penggalangan tersebut ditujukan untuk membantu rakyat Palestina. Mahasiswa tetap mengecam serangan Israel kepada Palestina. Terlebih lagi Israel menutup akses untuk bantuan kemanusiaan dari negara-negara yang bersimpati.

Mahasiswa Sumsel minta dukungan DPRD tolak UU BHP

Sejumlah delegasi dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) perguruan tinggi di Sumatera Selatan (Sumsel) kemarin mendatangi Gedung DPRD Sumsel. Mereka berasal dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah (RF) Palembang, dan Universitas PGRI Palembang. Kedatangan para delegasi ini masih terkait dengan sikap penolakan mahasiswa terhadap Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang cenderung mengarah pada komersialisasi dan privatisasi pendidikan.

Awalnya, para delegasi ini sempat kecewa karena saat ingin ditemui, tidak satu pun perwakilan Komisi IV Bidang Pendidikan DPRD Provinsi Sumsel yang berada di tempat. Namun,akhirnya mereka diterima langsung dua Wakil Ketua DPRD Sumsel, yakni Bihaqqi Soefyan dan Fatimah Rais.

Presiden Mahasiswa (Presma) Unsri Febriansyah menuturkan, dalam hal ini, pihaknya ingin meminta dukungan DPRD Sumsel untuk turut menolak penerapan UU BHP. Menurut dia, dengan diberlakukannya BHP, pemerintah telah mengurangi derajat tanggung jawab terhadap pendidikan.

Febriansyah menyebutkan, dengan hanya menanggung 1/3 dari biaya operasional di perguruan tinggi (PT), kampus akan menyerap dana yang sebesar-besarnya dari mahasiswa. Hal ini pada akhirnya akan semakin mempersempit akses pendidikan tinggi bagi masyarakat.

”Dalam hal ini, UU BHP akan diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) untuk tataran operasional dan teknis.Jika di daerahdaerah tidak ada gerakan penolakan, PP tersebut akan diterbitkan begitu saja,” ujar dia.

Namun, jika di daerah terjadi pergolakan atau sejumlah aksi penolakan, PP tersebut minimal akan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan yang ada dalam masyarakat. Untuk Unsri, hingga kini dinilai masih belum siap menerapkan UU BHP, khususnya terkait masalah dana.

Salah satunya, ujar Febriansyah, bisa dilihat dari penyaluran dana beasiswa yang masih bermasalah. Pada salah satu poin UU BHP, di sebutkan bahwa 20% biaya pendidikan dari mahasiswa tidak mampu akan dibiayai melalui beasiswa.

”Tetapi, kami justru mengkhawatirkan ketika BHP diberlakukan dan dana 20% tersebut telah diatur,hal ini justru akan menjadi peluang korupsi,” tandasnya.

Dia mengungkapkan, hingga kini mahasiswa Sumsel tetap berkomitmen menolak BHP. Jika upaya melalui delegasi seperti ini tidak menemukan keputusan yang bijaksana, mahasiswa mengancam melakukan aksi bersama keluar kampus secara besar-besaran.

Sementara itu,Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumsel Bihaqqi Soefyan menuturkan, aksi penolakan mahasiswa terhadap UU BHP merupakan bentuk perhatian mereka bagi terselenggaranya pendidikan murah di Indonesia. Untuk itu, DPRD mendukung aksi penolakan tersebut.

Dalam hal ini, pihaknya telah mengirimkan faks tuntutan mahasiswa yang dilampiri surat resmi dari pimpinan daerah kepada pemerintah pusat cq Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan DPR RI. Namun, lanjut dia, pada umumnya setiap UU yang telah disahkan akan sulit dibatalkan. Tetapi , dia berharap PP yang akan diturunkan nanti lebih berpihak kepada rakyat.

” Kami harap ke depan pemerintah dapat memberikan kebijakan yang lebih proporsional, dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan masyarakat saat ini,” ujarnya. (febria astuti)

***Harian SINDO

Mahasiswa Desak Rekrut ulang anggota KPUD Sumsel

Sriwijaya Post - Jumat, 12 Desember 2008 11:56 WIB

PALEMBANG, JUMAT - Kisruh rekrutmen calon anggota KPU kabupaten/kota di Sumsel yang berkelanjutan ditanggapi mahasiswa di Palembang. Mahasiswa ingin agar KPU Prov Sumsel tetap berada pada jalur independen. Demikian pula untuk KPU kabupaten/kota yang direkrut.

Hal itu ditegaskan oleh Presma Unsri Febriansyah ketika ditemui disela aksi Tolak Kedatangan JK di Palembang, di Bundaran Air Mancur.

Menurut Febri, kisruh yang berkepanjangan semakin menguatkan adanya indikasi kepentingan pihak-pihak tertentu dengan keanggotan KPU kabupaten/kota. "Tentunya mereka ingin menempatkan orang-orangnya di keanggotaan KPU kabupaten/kota untuk mengakomodir kepentingan mereka," ujar Febri.

Atas kisruh yang belum tahu kapan berakhirnya sementara tahapan Pemilu 2009 semakin dekat, maka sebaiknya diadakan rekrutmen ulang calon anggota KPU kabupaten/kota. "Ini semata-mata untuk menghindari kepentingan pihak tertentu dan menjaga agar KPU kabupaten/kota tetap netral," tegas Febri.
Soegeng Haryadi

Mahasiswa Unsri tolak pengesahan UU BHP

Sriwijaya Post - Kamis, 18 Desember 2008 17:46 WIB

INDERALAYA, KAMIS – Ratusan Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sriwijaya (Unsri) Inderalaya Kabupaten Ogan Ilir (OI) menggelar aksi Demo damai tentang penolakan pengesahan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dengan berjalan kaki berkeliling di lingkungan Unsri mengajak mahasiswa lainnya untuk bergabung yang berada di setiap fakultasnya masing-masing Kamis (18/12) pagi menjelang siang sekitar pukul 11.00 WIB.

Aksi mahasiswa yang berjalan tertib tersebut menyuarakan aspirasi Mahasiswa Unsri yang menolak keras RUU BHP yang dalam waktu dekat akan di sahkan Pemerintah, oleh sebab itu menurut para Mahasiswa tadi menjelaskan bahwa di dalam RUU BHP, Pemerintah terkesan ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penaganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu. Sehingga dengan sejumlah legilitasnya ke depan akan tampak di hadapan mata sejulah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung.

"Intinya RUU yang di anut BHP adalah melepas PTN dari intervensi pemerintah, ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara PTN dan Swasta, oleh karena itu kami yang tergabung dalam lembaga pendidikan Mahasiswa Indonesia yaitu BEM Unsri menyatakan sikap bahwa menolak dengan tegas pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP, dan menolak penerapan BHP di dalam kampus Unsri karena itu semua adalah bagian dari upaya Privatisasi pendidikan, mendesak pemerintah untuk tetap bertanggung jawab terhadap pendidikan rakyat Indonesia sebagaimana yang telah di amanatkan UUD 1945 " ujar Presiden Mahasiswa Unsri, Febriansyah.
Bowo Leksono

Komersialisasi Pendidikan...???

Sangatlah wajar jika pendidikan kerap menjadi bahan perbincangan di ruang publik, mulai dari kekerasan dalam lembaga pendidikan kedinasan, Undang-Undang Sisdiknas, pergantian kurikulum dan kompetensi tenaga kependidikan, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kontroversi, hingga mahalnya biaya pendidikan sebagai akibat adanya otonomi kampus. Wacana berbau pendidikan tetap menarik untuk disimak (Jawa Pos, Kamis, 26 Apr 2007).
Menyoal masalah komersialisasi pendidikan tidak bisa lepas dari campur tangan Bank Dunia. Berawal dari desakan Bank Dunia untuk segera mengotonomisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ihwal ini terlahir pada tahun 1999 ketika terjadi pertemuan konsultatif antara pihak Bank Dunia dan rektor PTN. Dengan dana yang dijanjikan Bank Dunia, masing-masing PTN kemudian mengajukan proposal. Siasat ini pun berhasil memancing beberapa PTN untuk tergabung dalam lingkaran BHMN. Hingga kini beberapa PTN yang sudah include di dalamnya adalah Universitas Indonesia/UI (Jakarta), Institut Teknologi Bandung/ITB (Bandung), Universitas Gajah Mada/UGM (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor/IPB (Bogor). Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir dari rahim BHMN.
Intinya sama, Rancangan Undang Undang yang dianut BHP adalah melepaskan PTN dari intervensi pemerintah. Ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta. Semua sama dalam mengemban prinsip privatisasi yang tidak lain adalah imbas dari liberalisasi pendidikan. Bentuk privatisasi pendidikan sebagai hasil dari adonan liberalisasi dan komersialisasi kian hari semakin menampakkan wujudnya. Merujuk pada pasal 19 Undang Undang Sisdiknas “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pedidikan.
Jika menengok pada Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan otonom”. Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan publik tidaklah pantas demikian.
Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.
Langkah pemerintah yang telah memasukkan Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan menjadi prioritas nasional kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan privatisasi pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika ditilik lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang di berikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal. Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan modal biaya yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.
Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di zamrud negeri katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima dana yang mengucur deras dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang mempunyai kecenderungan untuk mencari kuntungan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia ??? (to be continued)
KETIKA KEDZHALIMAN MENJADI BENAR, MAKA PERLAWANAN ADALAH KEBENARAN YANG HAKIKI…..!!!

HIDUP MAHASISWA …!!!
MERDEKA RAKYAT INDONESIA …!!!

Mahasiswa Sumsel tolak UU BHP

PERNYATAAN SIKAP

Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Intinya sama, Rancangan Undang Undang yang dianut BHP adalah melepaskan PTN dari intervensi pemerintah. Ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta. Semua sama dalam mengemban prinsip privatisasi yang tidak lain adalah imbas dari liberalisasi pendidikan. Bentuk privatisasi pendidikan sebagai hasil dari adonan liberalisasi dan komersialisasi kian hari semakin menampakkan wujudnya.
Olehkarena itu, atas nama Mahasiswa Sumatera Selatan, menyatakan sikap:
1. Menolak dengan tegas PENGESAHAN RUU BHP menjadi UU BHP, karena itu merupakan salah satu bentuk PENGKHIANATAN pemerintah saat ini terhadap cita-cita luhur para founding father bangsa ini
2. Menolak PENERAPAN BHP didalam kampus PTN maupun PTS, karena itu semua adalah bagian dari upaya Privatisasi pendidikan
3. Mendesak pemerintah untuk tetap BERTANGGUNG JAWAB terhadap pendidikan rakyat indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945
Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif. Sesungguhnya jika kemiskinan dan kebodohan adalah musuh bangsa ini, maka liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang menyebabkan kemiskinan dan kebodohan sistematik bangsa ini hukumnya wajib di LAWAN !!!
HIDUP MAHASISWA INDONESIA........!!!
MERDEKA RAKYAT INDONESIA........!!!


Atas nama seluruh Mahasiswa Sumatera Selatan

Mengetahui,
BEM UNSRI,


FEBRIANSYAH
Presiden Mahaiswa

BEM IAIN,


LIYUS BIHA
Presiden Mahasiswa

BEM PGRI,


SAHRIL ROMADHON
Presiden Mahasiswa

Konferensi BEM SI usung tiga isu: Pendidikan, Korupsi, Pemilu 2009

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Konferensi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) yang berakhir Senin (29-12) di Wisma Semergo, Bandar Lampung, mengusung tiga persoalan penting yang akan dikawal pada 2009.

Konferensi yang diikuti 40 BEM itu, kata Presiden Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga koordinator BEM seluruh Indonesia, Wahyu, akan mengambil peran dalam tiga hal itu.

Yakni, gerakan berantas politisi korup, penyikapan terhadap UU Badan Hukum Pendidikan dan Pemilu 2009. BEM-SI segera melakukan kajian komprehensif.

"Pemerintah tidak boleh berlepas diri dari tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh masyarakat, tanpa membedakan status ekonomi. Bila ini terjadi, pemerintah telah secara nyata melanggar amanat UUD 1945," kata Aris, presiden BEM Unila.

Oleh karena itu, BEM seluruh Indonesia akan terus mengawal UU BHP dengan menggelar berbagai kegiatan di perguruan tinggi masing-masing. Setiap BEM akan mengadakan kajian, membuka BHP center dan mengambil langkah-langkah nyata terhadap UU tersebut.

Presiden BEM Universitas Sriwijaya, Febri, mengatakan akan mengkaji UU tersebut. "Kami juga membuka BHP center untuk menghimpun dan merespons segala masukan tentang UU BHP," kata Febri.

Untuk mengawal pemilu, pihaknya akan terus mengadakan pengawasan terhadap politik uang yang mungkin dilakukan oleh oknum tertentu. Selain itu, mahasiswa juga akan mengawal penghitungan suara, serta memberikan pendidikan kepada para pemilih agar tidak memilih politisi korup. Hal itu agar para pemilih pemula tidak salah pilih dalam Pemilu 2009 mendatang.

Sedang untuk pemberantasan korupsi, BEM seluruh Indonesia sepakat untuk mengadakan aksi serentak di masing-masing kampus pada 14 Januari mendatang. Aksi tersebut diberi nama Gebrak atau Gerakan Berantas Politik Korup.

Aris mengatakan untuk BEM di luar Jabotabek, akan mengadakan aksi ke Kejaksaan Tinggi di daerah masing-masing untuk mengusut para politisi korup yang kembali mencalonkan diri dalam Pemilu 2009.

Sedang untuk BEM se-Jabotabek akan mendatangi KPK dan Kejaksaan. "Mereka juga melakukan aksi yang sama, meminta KPK dan kejaksaan untuk mengusut para politisi busuk, kandidat yang bermasalah dan korup yang kembali mencalonkan diri agar kasusnya segera diproses secara hukum," kata dia.

Konferensi BEM-SI berakhir kemarin, sebelum kembali ke daerah masing-masing para pengurus BEM diajak mengunjungi Lembah Hijau. n UNI/S-1

Rabu, 25 Maret 2009

PERUBAHAN YES, GOLPUT NO…!!!

33 tahun silam, 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta tampak penuh dengan pengunjung. Tepat sebulan sebelum pemilu 1971 saat itu. Selang beberapa menit kemudian ruangan hening ketika Arief Budiman yang didampingi aktivis mahasiswa dan pemuda lainnya dengan lantang memproklamirkan sebuah gerakan moral sebagai sebuah tindakan protes mereka terhadap sistem yang ada saat itu. Gerakan moral itu mereka namakan dengan “Golongan Putih (Golput)”. Meski setelah itu 34 eksponen Golput ditahan penguasa, tapi wacana ini sudah menjadi isu yang terus dan terus bergulir hingga sekarang. Dan, menjelang hajatan akbar pemilu 2009 pun, isu ini tetap panas untuk dibicarakan.

Kejadian puluhan tahun silam dipandang oleh banyak pengamat sebagai cikal bakal lahirnya gerakan golput yang intelektual. Hal ini didasarkan karena pada tahun 1955 pun Golput sudah muncul dalam ajang pemilu pertama negara ini saat itu, akan tetapi (konon) saat itu Golput lebih diartikan sebagai ketidaktahuan masyarakat tentang pemilu. Maka banyak diantara mereka yang tidak menggunakan hak politisnya. Dan, dari situlah angka Golput muncul. Golput intelektual bukanlah sebuah gerakan ecek-ecek seperti itu. Dan ini sebenarnya tidak bisa kita ukur, karena dalam sistem pemilu kita setiap suara yang tidak sah adalah Golput. Biasanya ciri gerakan ini adalah mereka sama sekali tidak memilih gambar partai manapun atau memang sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya (tidak datang sama sekali ke TPS). Arief budiman Cs telah membangkitkan gerakan ini, dan usungan mereka adalah Golput yang didasarkan pada suatu analisa bahwa sistem yang ada hanyalah sistem untuk menopang kekuasaan yang ada, sistem yang sengaja dikloning oleh penguasa untuk melanggengkan tirani mereka. Bahkan pernah diusulkan agar Golput disertakan sebagai perserta pemilu dengan lambang putih.

Marilah berpolitik ala orang dewasa, Golput bukanlah solusi. Pengamat politik dari Universitas Bengkulu Lamhir Syam Sinaga menilai, kalangan yang tidak memberikan suara alias golput pada pemilu sama dengan "penumpang gelap" di dalam negara ini. Pemilu merupakan jalan untuk memilih pemimpin bangsa yang akan menentukan garis kebijakan dalam pengelolaan negara. Kebijakan yang dibuat oleh pemimpin itu akan menentukan kondisi maju-mundurnya negara ini, tergantung kualitas figur pemimpin yang terpilih melalui pemilu.
Secara sepintas, masyarakat sekarang umumnya masih dalam kondisi kebingungan. Pertama, kebingungan berkaitan dengan teknis pemilu. Kedua, kebingungan untuk menentukan siapa yang akan dipilih dalam pemilu. Dalam simulasi di lapangan, banyak yang masih bertanya tentang cara pemberian suara yang benar, apakah mencoblos, mencontreng, atau melingkari. Penandaan yang benar juga apakah dilakukan satu kali atau dua kali. Kebingungan menentukan pilihan disebabkan dalam pemilu kali ini sangat banyak partai politik yang menjadi peserta pemilu. Dengan sendirinya, calon anggota legislatif (caleg) pun menjadi sangat banyak.
Momentum perubahan
Di tengah apatisme, yang kini perlu dilakukan adalah membangun upaya untuk menyadarkan masyarakat bahwa politisi itu tak semuanya busuk. Pemilu 2009 justru merupakan momentum terbaik bagi bangsa untuk melakukan perubahan.
Pemilih terpelajar, pemilih di perkotaan, atau yang memiliki akses informasi lebih baik semestinya tak lagi mengambil sikap Golput, tetapi justru membantu mendidik masyarakat untuk memilih secara kritis partai politik atau caleg yang paling baik di antara semua calon yang ada.
Terlebih lagi, putusan Mahkamah Konstitusi memberikan ruang besar kepada pemilih untuk memilih langsung nama caleg dalam pemilu, bukan lagi memilih lambang partai. Dengan bersikap kritis dan tidak apatis, akan kian banyak caleg berkualitas yang terpilih untuk duduk di DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun DPRD.
Dengan begitu, kita membantu pemilu menjadi lebih berarti. Pemilu tak sekadar menghambur-hamburkan uang, tetapi benar-benar membawa perubahan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

…Selamat memilih dengan CERDAS…


By: Febriansyah (Presiden Mahasiswa Unsri)

Rabu, 11 Maret 2009

Kritikan pasal demi pasal pada BHP

Bab, Pasal 4 Point F:
Akses yang berkeadilan masih dipertanyakan sebab pada ketentuan di dalam RUU/UU BHP kewajiban BHP/Satuan pendidikan untuk menerima “mahasiswa pandai namun tidak mampu” hanya 20%, hal ini dapat dilihat pada dirumuskannya ketentuan dengan kata-kata “minimal 20%” (lihat Pasal 46 ayat (1) RUU/UU BHP) ini akan menjadi exit strategy bagi BHP untuk membatasi jumlah penerimaan mahasiswa tidak mampu hanya pada angka 20% saja di sisi lain terdapat benturan kepentingan antara BHP dengan dengan calon mahasiswa / mahasiswa / siswa / masyarakat yang menurut ketentuan UU BHP harus ikut menanggung biaya pendidikan maksimal 30% (lihat Pasal 41 RUU/UU BHP) untuk dapat menarik sumber pendanaan dari calon mahasiswa / mahasiswa / siswa / masyarakat, hal ini akan menjadikan secara langsung maupun tidak langsung kemampuan ekonomi calon mahasiswa / siswa menjadi salah satu bahan seleksi bagi BHP/satuan pendidikan untuk menerima calon mahasiswa / siswa tersebut masuk menjadi peserta didik. Exit strategy inilah yang dapat menjadi alasan yang dimungkinkan menurut UU ini bagi BHP/ satuan pendidikan untuk mengelak dari tanggungjawab untuk menerapkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf f.
Sebagai contoh kasus di dalam penerimaan mahasiswa baru suatu Universitas pada formulir pendaftarannya tercantum kalusula “berapa besar jumlah sumbangan biaya pendidikan yang disanggupi oleh calon mahasiswa jika mereka lulus tes masuk/ diterima menjadi peserta didik?” (hal ini pernah ditemukan pada formulir UM UGM), hal ini jelas merupakan suatu deteksi awal dari pihak satuan pendidikan untuk mengenali bagaimanakah kemampuan ekonomi yang dimiliki calon mahasiswa bersangkutan, hal ini dapat disalahgunakan oleh BHP/satuan pendidikan untuk melakukan seleksi penerimaan calon mahasiswa baru berdasarkan kemampuan ekonomi sebab hasil (nilai) tes masuk tidak pernah diumumkan secara terbuka ( pengumuman hanya menyebut nama, nomor peserta, dan jurusan/ fakultas di mana ia diterima), di sisi lain kewajiban untuk menerima calon peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi hanya “minimal” 20% saja, lalu bagaimana jika jumlah calon peserta didik yang tidak mampu dan lolos tes seleksi masuk misalnya berjumlah 60% maka bagi BHP/satuan pendidikan tidak ada kewajiban untuk menerima semua 60% calon peserta didik yang lolos tes seleksi masuk tersebut.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia karena adanya pembatasan akses ke pelayanan pendidikan terhadap masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
“Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, utnuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”
serta pelanggaran atas hak konstitusional Warga Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 28C ayat (1) UUD Negara RI perubahan kedua yang menyatakan
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Bab III Pasal 11: Ini yang menunjukkan bahwa BHP berada atau setidaknya condong di ranah hukum privat
Bab IV, Pasal 18 Ayat 2: Di sini tidak ada unsur mahasiswanya
Ayat 3: Mereka dapat (tidak wajib) menetapkan unsur lain (mis. Mhsw) dengan Anggaran Dasar ktika mahasiswa ga ducantumin berarti ga ngelanggar UU, karna ga wajib
 Pada rumusan Pasal 18 ayat (2) RUU/UU BHP menafikan keberadaan mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan “terpenting” (subjek pendidikan) dan “terbesar” karena keterwakilan unsur mahasiswa tidak diwajibkan sebab tidak tercantum di dalam uraian ketentuan Pasal tersebut sedangkan apabila dibandingkan dengan pengaturan di dalam PP No. 152 tahun 2002 tentang BHMN UI (lihat Pasal 12 ayat (1) keterwakilan unsur mahasiswa di dalam organ representasi diwajibkan dan dijamin, meskipun jumlahnya hanya 1 (satu) orang, jelas hal ini melemahkan posisi tawar mahasiswa mengingat mahasiswa adalah pemangku kepentingan terpenting dan terbesar.
Pengaturan mengenai keterwakilan mahasiswa hanya diatur dengan norma yang dirumuskan secara fakultatif dengan penggunaan kata “dapat” pada ketentuan ayat (3) selain itu kalimat yang mengatur mengenai keterwakilan mahasiswa hanya di dalam penjelasan ayat (4). Hal ini jelas memberikan jaminan hukum yang lemah terhadap keterwakilan mahasiswa di dalam organ representasi (mengenai pentingnya organ repersentasi lihat tugas, kewenangan dan fungsinya di Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 22 RUU/UU BHP).
Jika kita mengacu kepada asas demokrasi dan konsisten dalam penerapannya maka keterwakilan mahasiswa dalam organ representasi pemangku kepentingan adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi sehingga pengaturannya haruslah dirumuskan dengan norma yang imperatif bukan fakultatif. Sungguh sangat disayangkan jika ada anggota DPR RI yang menyatakan RUU/UU BHP ini adalah merupakan koreksi atas PP BHMN karena ternyata pengaturan RUU/UU BHP ini lebih buruk daripada PP BHMN, bahkan keterwakilan mahasiswa yang cuma 1 atau 2 orang di dalam PP BHMN itupun dirasa masih kurang adil dalam merepresentasikan kepentingan mahasiswa sebab jumlah anggota MWA (organ representasi di dalam BHMN) berjumlah antara 20-21 orang sehingga suara aspirasi mahasiswa seringkali kalah jika diadakan pengambilan keputusan melalui voting, kemudian yang terjadi adalah suatu kebijakan yang dapat merugikan kepentingan mahasiswa, ada juga kritik yang menyatakan keterwakilan unsur mahasiswa yang cuma 1 atau 2 orang itu hanyalah pelengkap derita dan sarana legitimasi dalam pengambilan kebijakan.
Hal ini merupakan pelanggaran (atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar) terhadap Hak Asasi Manusia karena tidak adanya jaminan hukum yang kuat atas representasi mahasiswa sebagai pemangku kepentingan terpenting (subjek pendidikan) dan terbesar di dalam organ representasi pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
“Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya, dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”
serta pelanggaran atas hak konstitusional Warga Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (3) UUD Negara RI perubahan kedua yang menyatakan
“Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Bab IV : Pasal 35 (C):
ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari karena pengaturannya diserahkan kepada organ representasi pemangku kepentingan bukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan moral hazard jika tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Bab V Pasal 37 (1):
Salah satu implikasinya adalah bahwa ketika BHP bankrupt maka kekayaan pendiri tidak terkena. Ketika bhp didirikan oleh pemerintah, maka ketika bhp bankrupt kekayaan Negara tidak bisa digunakan untuk menalanginya..
 Perlu diingat kekayaan Negara awal pada BHPP dan BHPPD ini termasuk di dalam kategori kekayaan Negara yang dipisahkan sehingga menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara hal merupakan termasuk kategori keuangan Negara.
Pasal 37 (3): Perlu dikaji lebih lanjut apa implikasinya ketika yayasan menjadi BHP
Pasal 38 (1&2):
 perlu diperjelas apakah ketentuan di dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2 ) ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan keuangan BHPP dan BHPPD akan masuk ke dalam ranah hukum privat ataukah publik karena dinyatakan sebagai bukan penerimaan Negara?, jika hal ini masuk di dalam ranah hukum privat maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi privatisasi material (bukan privatisasi nilai) pada BHPP dan BHPPD (privatisasi sektor pendidikan) dengan alasan sebagai berikut:
- Dapat disimpulkan dari pendapat John D. Donahue bahwa “privatisasi sebagai pendelegasian kewajiban publik kepada organisasi swasta”, sebagaimana kita ketahui pendidikan adalah salah satu kewajiban Negara (lihat pembukaan UUD Negara RI tahun 1945) jadi pendidikan adalah kewajiban publik yang harus diberikan dalam bentuk pelayanan publik, di sisi lain BHPP dan BHPPD memiliki karakter yang sangat mirip dengan “organisasi swasta” karena menurut Pasal 38 ayat (1) dan (2) semua bentuk pendapatan dan sisa pendapatan tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak dengan kata lain bukan termasuk di dalam lingkup keuangan Negara (hal ini bertentangan dengan Pasal Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).
- Menurut Prof. Safri Nugraha yang menyimpulkan pendapat dari E.S. Savas “privatisasi diartikan sebagai minimalisasi peranan pemerintah dan maksimalisasi peranan sektor swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan aset-asetnya”.
Menurut Prof. Safri Nugraha privatisasi memiliki resiko sebagai berikut:
1. Di berbagai negara, privatisasi justru menciptakan kenaikan harga dari public service yang disediakan kepada masyarakat.
2. Di banyak negara, privatisasi ditentang oleh serikat buruh karena sering menciptakan PHK massal di BUMN yang diprivatisasi. Hal ini disebabkan karena BUMN yang diprivatisasi harus efisien, dan ini berarti jumlah pekerja dalam BUMN tersebut harus dirasionalisasi.
3. Privatisasi sering diartikan sebagai pesan sponsor dari perusahaan-perusahaan transnasional (MNC) untuk memperluas jaringan bisnis mereka dan mengambil alih BUMN-BUMN yang ada.
4. Seringkali BUMN yang diprivatisasi masih memiliki monopoli sehingga yang terjadi adalah pengalihan monopoli dari negara ke swasta.
5. Privatisasi sering diartikan sebagai komersialisasi public service karena di banyak negara, untuk menciptakan efisiensi di sektor public service, privatisasi mengenakan tarif atau biaya-biaya baru yang tidak dikenal pada saat public service tersebut dikelola oleh pemerintah.
Jadi tidaklah mengherankan akibat yang nyata dari privatisasi satuan pendidikan pemerintah adalah kenaikan biaya kuliah/sekolah karena hal tersebut adalah merupakan resiko dari adanya privatisasi.
Konsekuensi hukum lainnya jika hal ini dinyatakan masuk dalam ranah hukum privat adalah setiap ada penyalahgunaan keuangan BHPP dan BHPPD tidak dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi karena unsur merugikan keuangan negara tidak terpenuhi melainkan bisa dijerat dengan ketentuan mengenai tindak pidana penggelapan.
Penjelasan Ayat (3)
Kewajiban penanaman kembali ke dalam badan hukum pendidikan dimaksudkan untuk mencegah agar badan hukum pendidikan tidak melakukan kegiatan yang komersial.
Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi dengan adanya pengalihan aset-aset satuan pendidikan pendidikan yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar menjadi aset-aset komersial sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar, penyalahgunaan hasil dari unit-unit komersial yang dimiliki BHP, melainkan juga yang terpenting adalah adanya paradigma yang berubah di mana pelayanan pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sebuah kewajiban pelayanan publik (public service) oleh negara melainkan sudah menjadi suatu “komoditas” (private goods) yang dicirikan dengan adanya mekanisme pasar untuk menentukan harga dari pelayanan pendidikan sehingga “harga” dari pelayanan pendidikan yang harus dibayar peserta didik/masyarakat bisa menjadi fluktuatif bahkan bisa menjadi tidak terjangkau oleh semua kalangan seperti layaknya barang mewah, kondisi yang demikian akan mengeksploitasi peserta didik/masyarakat karena kita tahu bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup yang penting untuk era seperti sekarang. Hal ini akan terjadi jika peran negara dalam pelayanan umum menjadi terpinggirkan/diminimalisir padahal negara kita adalah negara kesejahteraan bukan negara liberal yang menghendaki minimalisasi campur tangan negara dalam aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
Pasal 41 (1): di dalam Pasal 41 ayat (1) dapat diketahui andanya 4 (empat) komponen pembiayaan pendidikan dasar, yaitu:
- biaya operasional
- biaya investasi
- beasiswa
- bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik
 Pasal 41 ayat (2) ini dirumuskan dengan norma fakultatif sehingga bukan merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.
 Pada Pasal 41 ayat (3) terdapat degradasi komponen biaya yang ditanggung pemerintah dalam pembiayaan BHPP dan BHPPD di tingkat pendidikan menengah karena hanya ditanggung 3 (tiga) komponen saja, yaitu:
- biaya investasi
- beasiswa
- bantuan biaya pendidikan
sedangkan untuk komponen biaya operasional tidak ditanggung sepenuhnya.
Cermati bahwa pemberian dana didasarkan standar minimal. Jadi ketika sekolah itu menetapkan standar lebih, maka yang ditanggung tetap yang standar minimum
Pasal 41 Ayat 4:  Pada Pasal 41 ayat (4) ini dapat kita ketahui adanya kewajiban minimal pemerintah dalam membiayai biaya operasional pendidikan menengah yaitu 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional saja, jadi besar kemungkinan BHPP dan BHPPD ataupun peserta didik dan masyarakatlah yang akan menanggung 2/3 (dua pertiga) biaya operasional penyelenggaraan pendidikan, masyarakat tidak bisa meminta pertanggungjawaban secara hukum jika pemerintah hanya memberi 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. Artinya hal ini akan dapat memberatkan masyarakat.
 Pada Pasal 41 ayat (4) ini hanya 3 komponen saja yang ditanggung oleh pemerintah untuk menanggung biaya pendidikan tinggi, yaitu:
- biaya investasi
- beasiswa
- bantuan biaya pendidikan
sedangkan untuk komponen biaya operasional tidak ditanggung sepenuhnya.
 Pada Pasal 41 ayat (4) ini dapat kita ketahui adanya kewajiban minimal pemerintah dalam membiayai biaya operasional pendidikan menengah yaitu 1/2 (setengah) dari biaya operasional saja, jadi besar kemungkinan BHPP dan BHPPD ataupun peserta didik dan masyarakatlah yang akan menanggung 1/2 (setangah) biaya operasional penyelenggaraan pendidikan, masyarakat tidak bisa meminta pertanggungjawaban secara hukum jika pemerintah hanya memberi 1/2 (setengah) dari biaya operasional. Artinya hal ini akan dapat memberatkan masyarakat.
Pasal 41 ayat 7 & 8:  Ini adalah Pasal yang memberikan “angin surga” bagi seluruh perserta didik di tingkat pendidikan menengah, apabila dikaitkan dengan ketentuan sanksi di dalam RUU/UU BHP (lihat Pasal 62) diatur ketentuan mengenai sanksi administrasi yang akan dijatuhkan apabila Pasal 41 ayat (8) ini dilanggar.
Pasal 41 Ayat 9:  Ini adalah Pasal yang memberikan “angin surga” bagi seluruh perserta didik di tingkat pendidikan tinggi (mahasiswa), apabila dikaitkan dengan ketentuan sanksi di dalam RUU/UU BHP (lihat Pasal 60) maka akan dikenakan sanksi berupa pembatalan keputusan dan pencabutan izin yang akan dijatuhkan apabila Pasal 41 ayat (9) ini dilanggar, namun sanksi tersebut kewenangannya diserahkan ke kebijakan Menteri apakah akan dijatuhkan ataukah tidak. Artinya bagi PT BHPP masih bisa melanggar ketentuan Pasal 41 ayat (9) apabila mendapat dispensasi dari Menteri. Pengaturan mengenai sanksi ini jelas tidak setegas pada Pasal 41 ayat (8) karena masih bisa memberikan celah bagi pihak yang ingin melanggar sehingga patut disayangkan. Dapat disimpulkan bahwa peserta didik masih bisa dibebani tanggungan pendanaan pendidikan tinggi lebih dari 1/3 (sepertiga) biaya operasional jika terdapat dispensasi Menteri yang mengizinkan hal itu, padahal bisa jadi menanggung 1/3 (sepertiga) biaya operasional pendidikan saja sudah memberatkan.
Kata – kata “Bentuk Hibah” di ayat 10: Ini yang harus dicermati. Hibah di sini diartikan apa? Klo melihat hibahseperti yang dirumuskan dalam proyek IMHERE oleh World Bank, akan menyebabkan semua BHP menjadi kompetitif untuk mengajukan proposal yang paling sesuai dengan maunya pemerintah (baca: antek Worl Bank).
Pasal 41 (1) ”portofolio”: Artinya BHP bisa main saham. Satu lagi indikasi bahwa BHP ada di ranah hukum privat. Masalah investasi asing, itu disangkal oleh Irwan Prayitno. Tetapi ingat bahwa Perpres no 77 tahun 2007 tentang Daftar Negatif Investasi yang mengatur pendidikan sebagai salah satu aset yang bisa ditanami modal (asing maksimal 49%) belum dicabut.
 Pasal 42 ayat (1) ini adalah pasal yang menunjukkan adanya kebolehan pada komersialisasi aset PT BHPP
yang patut disayangkan dalam ketentuan Pasal 42 ini adalah tidak adanya sanksi yang tegas yang diatur di dalam RUU/UU BHP apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang diaturnya sehingga besar kemungkinan akan menimbulkan adanya moral hazard, ketentuan mengenai sanksi hanya diatur di dalam Pasal 60 RUU/UU BHP dimana sanksi yang dijatuhkan hanya berupa pembatalan keputusan dan pembatalan izin satuan pendidikan, kemudian kewenangan untuk menjatuhkan atau tidak sanksi tersebut ada di Menteri. Pihak PT BHPP dapat melanggar ketentuan Pasal 42 ini dan perbuatan tersebut tidak termasuk kategori melanggar peraturan perundang-undangan jika memperoleh dispensasi dari Menteri.
Pasal 43:  Pasal 43 ini adalah pasal yang menunjukkan adanya kebolehan pada komersialisasi aset PT BHPP
 Hal yang patut disayangkan dalam ketentuan Pasal 43 ini adalah tidak adanya sanksi yang tegas yang diatur di dalam RUU/UU BHP apabila ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang diaturnya sehingga besar kemungkinan akan menimbulkan adanya moral hazard, ketentuan mengenai sanksi hanya diatur di dalam Pasal 60 RUU/UU BHP dimana sanksi yang dijatuhkan hanya berupa pembatalan keputusan dan pembatalan izin satuan pendidikan, kemudian kewenangan untuk menjatuhkan atau tidak sanksi tersebut ada di Menteri. Pihak PT BHPP dapat melanggar ketentuan Pasal 42 ini dan perbuatan tersebut tidak termasuk kategori melanggar peraturan perundang-undangan jika memperoleh dispensasi dari Menteri.

 Pasal 44 ayat (3) menjadi bermasalah sebab dana hibah berarti bukan merupakan pengeluaran rutin pemerintah dalam APBN melainkan hanya bersifat bantuan yang disesuaikan dengan kebutuhan BHP. Apabila dilihat dari skala prioritas maka tidak dimasukannya dana pendidikan di dalam pengeluaran rutin kemudian hanya menjadi hibah maka telah terjadi degradasi skala prioritas dana pendidikan di dalam APBN.



Pasal 46:  Pasal ini merupakan exit strategy bagi BHPP dan BHPPD sebagai sudah dijelaskan pada uraian di analisa Pasal 4 ayat (2) huruf f RUU/UUBHP untuk mengelak dari tanggungjawab untuk menerima calon peserta didik dengan potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi yang hanya menjadi kewajiban minimal bagi BHPP dan BHPPD sebanyak 20% saja dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru, sehingga BHPP dan BHPPD tidak memiliki kewajiban hukum untuk menerima calon peserta didik dengan potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi lebih dari 20% jumlah keseluruhan peserta didik yang baru, sedangkan di sisi lain terdapat tarik menarik kepentingan antara calon peserta didik dengan BHPP dan BHPPD (satuan penyelenggara pendidikan) untuk dapat menarik sumber pendanaan dari calon mahasiswa / mahasiswa / siswa / masyarakat, hal ini akan menjadikan secara langsung maupun tidak langsung kemampuan ekonomi calon mahasiswa / siswa (calon peserta didik) menjadi salah satu bahan seleksi bagi BHP/satuan pendidikan untuk menerima calon peserta didik tersebut masuk menjadi peserta didik. Jelas hal ini akan sangat berpengaruh pada terhambatnya aksesibilitas terhadap pelayanan pendidikan sehingga merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM dan Hak Konstitusional Warga Negara.
 Pasal 46 ayat (2) dengan mewajibkan bagi BHP untuk memberi beasiswa minimal kepada 20% dari keseluruhan jumlah peserta didik jelas merupakan suatu hal yang tidak bijak, jika nanti ternyata jumlah siswa yang membutuhkan beasiswa lebih dari 20% kemudian BHP hanya mampu memberikan beasiswa bagi 20% peserta didik saja lalu kemudian siapakah yang akan menanggung biaya pendidikan kelebihan dari jumlah peserta didik yang membutuhkan biaya pendidikan (beasiswa) tadi? dalam RUU/UU hal ini tidak secara jelas diatur. Tidak ada sanksi yang tegas apabila BHP melanggar ketentuan Pasal ini.
Pasal 50 (1)Perlu diperjelas apakah laporan keuangan BHPP, BHPPD, BHPM baik di tingkat pendidikan dasar dan menengah apakah meruapakan dokumen yang terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja ataukah dokumen yang bersifat rahasia.
Pasal 52 (2&3):  Pasal 52 ayat (3) pembatasan kewenangan BPK dan Irjend untuk melaukan audit terhadap BHPP dan BHPPD sebatas hanya pada dana hibah saja menunjukan adanya suatu karakteristik yang menegaskan bahwa BHPP dan BHPPD adalah entitas hukum privat (swasta), hal ini akan dapat bertentangan dengan ketentuan di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan, meskipun RUU/UU BHP merupakan lex priori dari UU Keuangan Negara (lex postriori) akan tetapi hal ini dapat membuat kerancuan mengenai definisi keuangan Negara yang dianut di dalam UU Keuangan Negara.
Penjelasan Ayat (3)
Berhubung dana hibah berasal Angaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka otoritas pengawasan negara berhak untuk melakukan audit keuangan berlaku hanya pada bagian keuangan badan hukum pendidikan yang berasal dari hibah.
 Pasal 55 ayat (2) harus diatur lebih lanjut mengenai ketentuan pegawai badan hukum pendidikan karena statusnya bukan sebagai PNS melainkan hanya sebagai pekerja sehingga seharusnya tunduk kepada UU Ketenagakerjaan. Pengaturan mengenai pegawai badan hukum pendidikan ini pada BHPP dan BHPPD menunjukkan karakteristik yang menegaskan bahwa BHPP dan BHPPD adalah entitas hukum privat (swasta).
Di sini berlaku UU Ketenagakerjaan
Penjelasan Ayat (3)
Tenaga badan hukum pendidikan yang berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan tetap harus membuat perjanjian dengan pemimpin organ pengelola pendidikan, karena sekalipun tenaga tersebut telah diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, yang bersangkutan belum diangkat oleh badan hukum pendidikan.

Di sini berlaku UU Ketenagakerjaan
Penjelasan Ayat (3)
Tenaga badan hukum pendidikan yang berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan tetap harus membuat perjanjian dengan pemimpin organ pengelola pendidikan, karena sekalipun tenaga tersebut telah diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, yang bersangkutan belum diangkat oleh badan hukum pendidikan.
Pasal 56:  Ketentuan Pasal 56 ini menunjukkan persamaan karakter BHP dengan perusahaan swasta layaknya Perseroan Terbatas.
Pasal 57 (B): kemungkinan terjadinya pailit muncul sebagai konsekuensi logis dari diperbolehkannya kegiatan dagang. Selain itu pailit juga dimungkinkan ketika BHP tidak mampu memenuhi pembiayaan
 Apabila dicermati di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada ketentuan Pasal 2 tidak kita temukan mengenai syarat khusus bagi suatu BHP untuk bisa dipailitkan, seperti adanya izin dan pengajuan dari Pejabat berwenang untuk mempailitkan BHP sehingga untuk mempailitkan BHP cukup dengan syarat adanya dua Kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas satu satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih maka BHP dapat dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri, salah satu kreditornya dan kejaksaan demi kepentingan umum. Padahal BHP merupakan suatu lembaga yang memiliki dampak besar bagi kehidupan masyarakat, sebagai contoh Perguruan Tinggi yang memiliki ribuan mahasiswa, seharusnya dalam hal mempailitkannya tidaklah mudah dan sederhana melainkan harus ada izin dan pengajuan dari Pejabat yang berwenang (prosedur yang lebih berat) demi melindungi kepentingan umum.

Pasal 63:  ketentuan mengenai sanksi yang tegas ternyata tidak diberlakukan terhadap Pasal-pasal yang krusial seperti Pasal 41 ayat (9), Pasal 43, Pasal 46 ayat (2) sehingga Pasal-pasal krusial akan menjadi sulit untuk diberlakukan secara konsisten jika tidak dilekatkan sanksi.


Admin )(

SAATNYA MENJADI BANGSA YANG PUNYA TASTE…!!!

Kata-kata tersebut sering kita dengan dilayar televise yang ditayangkan sebuah iklan. Seorang mahasiswadengan lantang melontarkan kata tersebut melalui speaker. Tahun 2009 ini, memang saatnya bangsa Indonesia lebih punya taste (karakter). Isu perubahan telah menggema diseluruh dunia. Sekarang saatnya menjelang pemilu ini, kesempatan perubahan telah didepan mata. Bagaimana partisipasi mahasiswa pada moment tersebut?
Dalam buku rekonstruksi pemuda disebutkan, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mencapai kemandirian dan partisipasi mahasiswa sebagai civil society. Beberapa strategi itu merupakan agenda prinsipil yang diharapkan mempunyai watak dan ciri khas sehingga menjadi keputusan strategis bagi pembentukan masyarakat madani dalam rangka pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Adapun strategi-strategi tersebut berorientasi pada pembentukan kepemimpinan pemuda yang otentik, penciptaan kelompok intelektual muda pro perubahan yang memihak kepada sistem keadilan, pemberdayaan yang terus-menerus, penciptaan gerakan sosial pro perubahan yang memihak pada sistem keadilan sosial serta pembentukan network dengan kekuatan strategis manapun.
Belum terkonsolidasinya mahasiswa kita kearah kemandirian dan partisipasi salah satu penyebab utamanya adalah karena belum adanya kepemimpinan yang otentik. Kepemimpinan otentik adalah kepemimpinan yang visi dan pemihakan yang jelas. Kepemimpinan otentik adalah kepemimpinan yang telah teruji dilapangan untuk mengambil keputusan tegas secara strategis untuk tetap memihak kepada keadilan sosial.
Strategi untuk pembentukan kepemimpinan bisa dilakukan melalui ujian pelibatan mahasiswa kepada grass root. Yakni bagaimana cara mahasiswa memimpin, mengerti, memahami, dan menghayati kehadiran grass root didalam benak dan setiap gerakannya.
Kelompok intelektual pro perubahan, apalagi yang tergabung dalam kalangan muda adalah strategi yang menciptakan kemandirian dan partisipasi mahasiswa itu sendiri. Disamping itu, sesungguhnya penciptaan kelompok intelektual muda pro perubahan merupakan langkah strategis bagi pembentukan kepemimpinan otentik. Karena bagaimanapun, kalangan mudalah yang menyuarakan perubahan menuju system yang berkeadilan. Di Indonesia, kalangan muda nampaknya perlu direkomendasi untuk mempelajari sejarah terdahulu mengenai system pemihakan dengan watak yang jelas.
Dua hal strategis diatas lebih berorientasi elit. Kemandirian dan partisipasi mahasiswa akan dimulai dari elit, begitu kira-kira pokok pikirannya. Strategi menggarap elit itu perlu dikontrol, karena sejauh kekuatan Negara ketika berhubungan dengan masyarakat berjalan, kemudian ruang kosong tidak diisi lagi karena kalangan mahasiswa masuk kedalam kekuasaan, maka dikhawatirkan kemandirian dan partisipasi mahasiswa menjadi redup lagi.
Oleh karena itu, strategi selanjutnya perlu dilakukan pemberdayaan (empowering). Empowering bukan sekedar empowerement. Empowering lebih menekankan pada keberlanjutan (sustainability) dan pemihakan terhadap masyarakat. Dengan demikian, empowering memiliki prinsip memfasilitasi bukan memberdayakan masyarakat dari kebodohan dan ketidakmengertian kepada pengertian.


Presiden Mahasiswa Unsri



Febriansyah

Selasa, 10 Maret 2009

DISKUSI KEBANGSAAN DAN KARAKTER PEMUDA

BANGKITLAH NEGERIKU…HARAPAN ITU MASIH ADA !
Sebuah Negeri bernama Indonesia… negeri yang memiliki kekayaan alam begitu besar dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta orang. Negeri yang merdeka melalui keringat dan cucurn darah para pejuang, tak sedikit jumlah mereka yang merelakan dirinya, berkorban untuk sebuah kata ‘Merdeka !’. Namun tidak kita pungkiri beberapa tahun belakangan ini, Indonesia mengalami krisis multidimensi. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan,” Negeri Indonesia adalah negeri yang kaya, namun saat ini menjadi bangsa pengemis dinegerinya sendiri, karena tidak adanya karakter pada pemimpin.” Bukan karena kurangnya sumberdaya melainkan tidak adanya SDM yang mampu mengelola. Pertumbuhan masalah seringkali jauh lebih pesat dibandingkan dengan kecepatan penyelesaian masalah. Ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah, menyebabkan krisis multi dimensi. Krisis multi dimensi ; politik, ekonomi, sumber daya, sosial, budaya, moral, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan dan sumberdaya manusia.
Kemajuan sebuah bangsa tergantung dari generasi didalamnya. Generasi yang baik dapat dilihat dari apa yang dipelajarinya, you are what you learn, karena apa yang dipelajari akan mempengaruhi apa yang dipikirkan, apa yang dipikirkan akan mempengaruhi yang akan diucapkan. Apa yang diucapkan akan mempengaruhi tindakan. Dan tindakan yang terus menerus menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang pemanen menjadi karakter. Sehingga dapat dinyatakan sebuah bangsa dapat berkembang atau terpuruk dikarenakan karakter generasinya.
SDM yang memiliki karakter kuat (strong positive character) akan mampu menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi. Kita membutuhkan SDM yang memiliki karakter yang mencerminkan akhlak mulia. Menurut Adhyaksa Dault (2003), bahwa yang dibutuhkan bangsa ini sekarang adalah blue print (cetak biru) ke depan, mau kemana ? Blue Print bangsa ini tidak bisa lepas dari akhlak individu yang bermukim didalamnya.
Cobalah hayati nilai yang terkandung dalam lagu “Bangun Pemudi Pemuda”, yaitu: jujur, ikhlas, kerja keras, hati teguh dan lurus, pikir tetap jernih dan bertingkah laku halus. Jika kebanyakan pemuda Indonesia memiliki karakter tersebut, maka terbentuklah budaya bangsa yang mulia, itulah tanda kebaikan dan kemajuan.
Menurut penelitian dari Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (2008), bahwa kepemimpinan pemuda memiliki 7 domain, yaitu: Komunikasi, Bagaimana membina hubungan dengan orang lain, Memahami diri sendiri , Bekerja dalam kelompok, Kemampuan manajemen , Learning skills , dan Kemampuan membuat keputusan.

Pembentukan karakter dapat dilakukan mulai proses penyadaran, pembinaan dan pelatihan. Dengan perbahan pengetahuan, diharapkan tumbuhnya kesadaran dan tindakan nyata. Dengan tindakan yang menjadi kebiasaan, maka akan membentuk karakter, sebagai modal pembangunan bangsa.


Koord. BEM se-Sumsel



Febriansyah
Presiden Mahasiswa Unsri

Senin, 09 Maret 2009

PERNYATAAN SIKAP

GARDA PEMILU UNIVERSITAS SRIWIJAYA
(BEM UNSRI, BEM FK, BEM FT, BEM FASILKOM, BEM FMIPA, BEM FP, BEM FKIP, BEM FE, BEM FISIP, BEM FH, BEM FKM)

 PERNYATAAN SIKAP
Tahun 2009 sedang kita jalani, akan ada dua perhelatan besar di negeri ini, yaitu pemilihan legeslatif dan pemilihan presiden, itu berarti tahun 2009 menjadi penentu nasib bangsa indonesia lima tahun kedepan. Akankah bangsa ini akan lebih buruk atau lebih baik?? Sangat pentingnya pemilu legislatif dan presiden ini sampai-sampai pada tahun 2009 tidak boleh ada pemilu-pemilu lainnya. Harapan masyarakat pun telah memuncak, mengharapkan sosok ”pahlawan” yang dapat menyelesaikan semua permasalahan negeri ini dan membawa indonesia menjadi negara merdeka yang sesungguhnya. 

Sistem pemilihan yang banyak sekali mengalami perubahan perlu disosialisasikan dengan baik, karena kalau tidak akan mengakibatkan meningkatnya jumlah golput pada pemilu tahun ini. Oleh karena itu perlu kerja keras dari kita semua untuk menyukseskan pesta demokrasi terbesar di negeri ini. Mahasiswa sebagai agen perubah memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan sebuah perbaikan bagi bangsa dan negara.  

Atas dasar itulah, Garda pemilu Universitas Sriwijaya menyatakan sikap:
1. Bersihkan kampus dari segala macam bentuk praktek politisasi, karena kampus adalah instansi pendidikan yang bebas politik praktis
2. Menghimbau kepada seluruh mahasiswa unsri dan masyarakat secara umum untuk berpartisipasi proaktif dalam menyukseskan pemilu 2009
3. Tolak politisi busuk, yang terbukti korup dan menyengsarakan masyarakat

Berkontribusi sepenuh hati karena bumi dan langit negeri ini sudah rindu untuk dilukis oleh impian. Tentang esok yang lebih baik. Mari bersatu, bergerak dan berjuang untuk ibu pertiwi!!!

Hidup Mahasiswa...!!!
Merdeka Rakyat Indonesia...!!!



Indralaya, 27 Februari 2009
Koordinator Aksi
Presiden Mahasiswa Unsri



Febriansyah
(Koord. Garda Pemilu SumSel 09)