Sangatlah wajar jika pendidikan kerap menjadi bahan perbincangan di ruang publik, mulai dari kekerasan dalam lembaga pendidikan kedinasan, Undang-Undang Sisdiknas, pergantian kurikulum dan kompetensi tenaga kependidikan, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kontroversi, hingga mahalnya biaya pendidikan sebagai akibat adanya otonomi kampus. Wacana berbau pendidikan tetap menarik untuk disimak (Jawa Pos, Kamis, 26 Apr 2007).
Menyoal masalah komersialisasi pendidikan tidak bisa lepas dari campur tangan Bank Dunia. Berawal dari desakan Bank Dunia untuk segera mengotonomisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ihwal ini terlahir pada tahun 1999 ketika terjadi pertemuan konsultatif antara pihak Bank Dunia dan rektor PTN. Dengan dana yang dijanjikan Bank Dunia, masing-masing PTN kemudian mengajukan proposal. Siasat ini pun berhasil memancing beberapa PTN untuk tergabung dalam lingkaran BHMN. Hingga kini beberapa PTN yang sudah include di dalamnya adalah Universitas Indonesia/UI (Jakarta), Institut Teknologi Bandung/ITB (Bandung), Universitas Gajah Mada/UGM (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor/IPB (Bogor). Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir dari rahim BHMN.
Intinya sama, Rancangan Undang Undang yang dianut BHP adalah melepaskan PTN dari intervensi pemerintah. Ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta. Semua sama dalam mengemban prinsip privatisasi yang tidak lain adalah imbas dari liberalisasi pendidikan. Bentuk privatisasi pendidikan sebagai hasil dari adonan liberalisasi dan komersialisasi kian hari semakin menampakkan wujudnya. Merujuk pada pasal 19 Undang Undang Sisdiknas “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pedidikan.
Jika menengok pada Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan otonom”. Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan publik tidaklah pantas demikian.
Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.
Langkah pemerintah yang telah memasukkan Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan menjadi prioritas nasional kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan privatisasi pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika ditilik lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang di berikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal. Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan modal biaya yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.
Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di zamrud negeri katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima dana yang mengucur deras dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang mempunyai kecenderungan untuk mencari kuntungan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia ??? (to be continued)
KETIKA KEDZHALIMAN MENJADI BENAR, MAKA PERLAWANAN ADALAH KEBENARAN YANG HAKIKI…..!!!
HIDUP MAHASISWA …!!!
MERDEKA RAKYAT INDONESIA …!!!
Kamis, 26 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar